Mengenai Saya

Foto saya
salatiga, jawa tengah, Indonesia

Jumat, 24 Juni 2016

MAKALAH HUKUM PERBANKAN SYARIAH
“ UU NO 21 TAHUN 2008 “
Dosen pengampu : Richa Angkita Mulyawisdawati, S.H.I.,M.A.




Disusun oleh :
1.      Fitria Dini Q                 (213-14-098)
2.      Khairul Azizah            (213-14-103)
3.      Nurul Fadhilah            (213-14-204)


S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SALATIGA
TAHUN AKADEMIK 2015/2016

KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat meneyelesaikan makalah tentang “UU No. 21 tahun 2008” dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterima kasih pada Ibu Richa selaku Dosen mata kuliah Hukum Perbankan Syariah yang telah membimbing penyusunan makalah ini.
Kami berharap makalah ini berguna dalam menambah wawasan dan pengetahuan mengenai UU No.21 tahun 2008. Kami juga menyadari bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik serta saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.


                                                                                                            Salatiga, 16 Maret 2016



Penyusun








BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Makalah ini ditujukan untuk membahas masalah tentang perbankan syariah dalam artian bank tanpa bunga atau bank dengan prinsip perjanjian bagi hasil sudah mulai diperkenalkan di negara kita sejak awal tahun 1990-an. Kemudian ditetapkan di dalam undang-undang no 21 tahun 2008 (LN tahun 2008 no 94) tentang perbankan syariah yang ditetapkan dan mulai berlaku tanggal 16 Juli 2008. Sebelum ditetapkannya undang-undang no 21 tahun 2008 pengaturan tentang perbankan syariah sudah dilakukan dalam beberapa undang-undang dan peraturan bank Indonesia belum memadai.
Apa yang dimaksud dengan perbankan syariah? Pasal 1 angka 1 undang-undang no 21 tahun 2008 menyebutkan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencangkup kelembagaan kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
UU No.21 tahun 2008 menjelaskan mengenai Perbankan syariah, pada Bab 1 pasal 1 berisi mengenai ketentuan umum yang terdiri dari pengertian : Perbankan Syariah, Bank, Bank Indonesia, Bank Konvensional, Bank umum Konvensional, Bank Pekreditan Rakyat, Bank Syariah, Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Unit Usaha Syariah, Kantor Cabang, Prinsip Syariah, Akad, Rahasia Bank, Pihak Terafiliasi, Nasabah, Nasabah Penyimpanan, Nasabah penerima fasilitas, Simpanan, Tabungan, Deposito, Giro, Investasi, Pembiayaan, Agunan, Penitipan, Wali Amanat, Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pemisahan.
Dan selengkapnya akan dibahas didalam makalah ini.








B.     Rumusan Masalah

a.       Apa landasan hukum perbankan syariah di Indonesia ?
b.      Bagaimana penjelasan undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah ?

C.     Tujuan

a.       Memberikan informasi kepada pembaca agar mengetahui landasan hukum perbankan syariah di Indonesia.
b.      Memberikan pengetahuan kepada pembaca agar mengetahui isi dan penjelasan undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah














BAB II
PEMBAHASAN


A.    Landasan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia

Uraian berikut adalah penjelasan historis dari adanya landasan hukum perbankan syariah di Indonesia. Untuk diketahui bahwa, bank syariah di Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983.Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentu tingkat suku bunga termasuk nol persen (perniagaan bunga sekaligus), dengan demikian kesempatan ini belum termanfaatkan dengan baik karena tidak diperkenankannya pembukaan kantor bank baru.
Kondisi diatas berlangsung sampai tahun 1988 dimana pemerintah mengeluarkan Paket Oktober (Pakto) 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru. Kemudian posisi perbankan syariah semakin pasti setelah disahkannya UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan bagi hasil.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1992 Tentang Bank Bagi Hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa “bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usaha tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” (pasal 6), maka jalan bagi operasional perbankan syariah semakin luas.
Saat ini, titik kulminasi (puncak tertinggi) landasan hukum perbankan syariah telah tercapai dengan disahkannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank syariah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional menjadi sistem syariah.
1.      Pendirian kantor cabang atau di bawah kantor cabang baru, atau
2.      Pengubahan kantor cabang atau di bawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.[1]

B.     Penjelasan Atas Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 21 Tahun 2008 TentangPerbankan Syariah

1.      Umum

Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan pembangunan nasional adalahterciptanya masyarakat adil dan makmur, berdasarkan demokrasiekonomi, dengan mengembangkan sistem ekonomi yang bertumpu padamekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan tujuan tersebut,pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan padaperekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri,handal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomianinternasional.[2]
Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktifdalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusisemua elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensimasyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upayamerealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentukpenggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomiannasional adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilaiIslam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam SistemHukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan,kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin).Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan berdaasarkan Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah.Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yangberkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islamadalah larangan riba dalam berbagai bentuknya dan menggunakan prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, BankSyariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karenasemua pihak dapat saling berbagi keuntungan maupun potensi risikosehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antarabank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorongpemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanyadinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasionalmemerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikankontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salahsatu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadaidan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranyadituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. PembentukanUndang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaanbagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai PerbankanSyariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankansebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasionalPerbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usahaBank Syariah berkembang cukup pesat.
Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan memberi keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produkdan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah inidiatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha,penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS (bagian dari Bank Umum Konvensional). Sementara itu, untukmemberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukankesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pulakegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputikegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar,haram dan zalim.
Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalamUndang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariahcompliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia(MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yangharus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untukmenindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalamPeraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentukkomite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilandari Bank Indonesia, Departemen Agama dan unsur masyarakat yangkomposisinya berimbang.[3]
Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul padaperbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkunganPeradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaiansengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitraseatau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjangdisepakati di dalam Akad oleh para pihak.Untuk menerapkan substansi undang-undang perbankan syariah ini,maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih beradadalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan,apabila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkanuntuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhitata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan BankIndonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi PerbankanSyariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjaminterpenuhinya prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank bagi BankSyariah, dan yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasidana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap BankSyariah dalam undang-undang tersendiri.

2.      Per Pasal

Bab I berisi tentang Ketentuan Umum

UU No.21 tahun 2008 menjelaskan mengenai Perbankan syariah, pada Bab 1 pasal 1 berisi mengenai ketentuan umum yang terdiri dari pengertian : Perbankan Syariah, Bank, Bank Indonesia, Bank Konvensional, Bank umum Konvensional, Bank Pekreditan Rakyat, Bank Syariah, Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Unit Usaha Syariah, Kantor Cabang, Prinsip Syariah, Akad, Rahasia Bank, Pihak Terafiliasi, Nasabah, Nasabah Penyimpanan, Nasabah penerima fasilitas, Simpanan, Tabungan, Deposito, Giro, Investasi, Pembiayaan, Agunan, Penitipan, Wali Amanat, Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pemisahan.[4]

Bab II berisi tentang Asas, Tujuan, dan Fungsi

Bab II terdiri dari 3 pasal, pada bagian pertama membahas mengenai Asas Perbankan. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Tujuan Perbankan Syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Sedangkan fungsi Bank Syariah adalah :
a.          Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
b.         Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal
c.          Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
d.         Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.

Bab III akan dijelaskan tentang Perizinan, Bentuk Badan Hukum, Anggaran Dasar, dan Kepemilikan

Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia. Dengan syarat harus memenuhi sekurang-kurangnya: susunan organisasi dan kepengurusan, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang Perbankan Syariahdan kelayakan usaha. Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhipersyaratan anggaran dasarsebagaimana diatur dalam ketentuanperaturan perundang-undangan memuat pula ketentuan:
a.          Pengangkatan anggota direksi dan komisaris harusmendapatkan persetujuan Bank Indonesia.
b.         Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harusmenetapkan tugas manajemen,remunerasi komisaris dandireksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkandan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hallainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.[5]
Pendirian dan kepemilikan Bank Syariah
a.       Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/ataudimiliki oleh:
1.      Warga negara Indonesia dan/atau badan hokumIndonesia
2.      Warga negara Indonesia dan/atau badan hokumIndonesia dengan warga negara asing dan/atau badanhukum asing secara kemitraan; atau
3.      Pemerintah daerah.
b.      Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikandan/atau dimiliki oleh:
1.      Warga negara Indonesia dan/atau badan hukumIndonesia yang seluruh pemiliknya warga NegaraIndonesia
2.      Pemerintah daerah
3.      Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalamhuruf a dan huruf b.
c.       Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warganegara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalamPeraturan Bank Indonesia.

Bab IV berisi tentang jenis dan kegiatan usaha, kelayakan penyaluran dana dan larangan bagi Bank Syariah dan UUS

Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan BankPembiayaan Rakyat Syariah.Kegiatan usaha Bank Umum Syariah menghimpun dan menyalurkan dana pihak ketiga serta memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi sesuai prinsip syariah dan melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah. Bank Umum Syariah dilarang:
1.         Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan denganPrinsip Syariah
2.         Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung dipasar modal
3.         Melakukan penyertaan modal
4.         Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecualisebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.
Sedangkan UUS dilarang:
1.      Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan denganPrinsip Syariah
2.      Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar modal
3.      Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimanadimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c
4.      Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecualisebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.[6]

Bab V berisi tentang pemegang saham pengendali, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing

Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulusuji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh BankIndonesia.Dan pemegang saham pengendali yang tidak lulus ujikemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikansahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen).Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan,tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisarisdan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar BankSyariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariahdan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Dewan pengawas Syariah diangkat oleh rapat umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Tugas Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat menggunakan tenaga kerja asing. Tata carapenggunaan tenaga kerja asing sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

Bab VI berisi tentang tata kelola, prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko Perbankan Syariah

Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yangbaik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas,pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalammenjalankan kegiatan usahanya.Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatanusahanyawajib menerapkan prinsip kehati-hatian.Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.Bank Syariah dan UUS wajib messnerapkan manajemen risiko,prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.
Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.[7]

Bab VII berisi tentang rahasia bank

            Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keteranganmengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta NasabahInvestor dan Investasinya. Informasi Bank dapat disampaikan ke pihak lain yang berkepentingan jika digunakan untuk :
1.   Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinanBank Indonesia atas permintaan Menteri Keuanganberwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bankagar memberikan keterangan dan memperlihatkan buktitertulis serta surat mengenai keadaan keuangan NasabahPenyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabatpajak.
2.   Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepadapolisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenangberdasarkan undang-undang untuk memperoleh keterangandari Bank mengenai Simpanan atau Investasi tersangka atauterdakwa pada Bank.
3.   Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksiBank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepadapengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yangbersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevandengan perkara tersebut.

Bab VIII berisi tentang pembinaan dan pengawasan

Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukanoleh Bank Indonesia.Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan Bank Indonesiaberwenang:
1.      Memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiaptempat yang terkait dengan Bank
2.      Memeriksa dan mengambil data/dokumen danketerangan dari setiap pihak yang menurut penilaianBank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank
3.      Memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekeningtertentu, baik rekening Simpanan maupun rekeningPembiayaan.[8]

Bab IX berisi tentang penyelesaian sengketa

Penyelesaian sengketa dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad dan juga tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Bab X berisi tentang sanksi administratif

Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah:
1.      denda uang
2.      teguran tertulis
3.      penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS
4.      pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring
5.      pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan
6.      pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia
7.      pencantuman anggota pengurus, pegawai, danpemegang saham Bank Syariah dan Bank UmumKonvensional yang memiliki UUS dalam daftar orangtercela di bidangperbankan
8.      pencabutan izin usaha.[9]

Bab XI berisi tentang ketentuan pidana.

a.       Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah,UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentukSimpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpaizin usaha dari Bank Indonesiadipidana dengan pidanapenjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15(lima belas)tahun dan pidana denda paling sedikitRp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan palingbanyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
b.       Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintahtertulis atau izin dari Bank Indonesia memaksa Bank Syariah, UUS,atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahundan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda palingsedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) danpaling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliarrupiah).[10]
c.       Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariahatau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengansengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhisebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun danpaling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikitRp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyakRp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
d.      Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai BankSyariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUSyang dengan sengaja:
a)      Tidak menyampaikan laporan keuangan
b)      Tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakanperintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksuddalam Pasal 52dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahundan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda palingsedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan palingbanyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
e.       Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai BankSyariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUSyang dengan sengaja:
a)      Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsudalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen ataulaporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksiatau rekening suatu Bank Syariah atau UUS
b)      Menghilangkan atau tidak memasukkan ataumenyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalampembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporankegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi ataurekening suatu Bank Syariah atau UUS
c)      mengubah, mengaburkan, menyembunyikan,menghapus, atau menghilangkan adanya suatupencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/ataulaporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariahatau UUS, atau dengan sengaja mengubah,mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, ataumerusak catatan pembukuan tersebutdipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahundan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana dendapaling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliarrupiah).
d)     Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakanlangkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatanBank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUSterhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana denganpidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8(delapan) tahun dan pidana denda paling sedikitRp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyakRp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).[11]  












Kasus 1 :
RMOL. Merasa dirugikan oleh Bank BNI Syariah terkait dengan tidak diterbit verifikasi perjanjian kontrak kerja No 002/DE11-6031/DE-RLK/IX/07 jasa catering di PLTU 3 Teluk Naga, Banten, akhirnya HM Rudy Jundani melalui pengacaranya Arsi Pane melaporkan Bank BNI Syariah ke Bareskrim Mabes Polri. Laporan itu sendiri sudah diterima dengan nopol LP/1397/XII/2015 Bareskrim tertanggal 15 Desember 2015. " Tadi kita sudah diperiksa terkait tindak pidana dengan pencatatan palsu dalam pembukuan," ujar Arsi Pane di Mabes Polri, Kamis (7/1).
Menurut Pane, dalam hal ini polisi menggunakan UU No. 21 Tahun 2008 Pasal 63 tentang Perbankan Syariah. " Dalam pasal ini sudah jelas adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha dan laporan transaksi," paparnya. Kembali djelaskan oleh Asri Pane, kliennya akhirnya memengkan gugatan dari Bank BNI Syariah di Pengandilan Niaga Jakarta Pusat. Atas dasar keputusan tersebut, seharusnya Bank BNI Syariah meloloskan pinjaman terhadap PT Rolika Caterindo. Seperti diketahui kasus ini sendiri berawal dimana BNI Syariah memberikan pinjaman senilai Rp 3,7 miliar, dimanadana itu untuk take over fasilitas kredit modal kerja dan service katering dengan jangka waktu pembiayaan selama 12 bulan. Dimana itu terhitung sejak akad yang hingga harus dibayar setiap akhir bulan. " Padahal dalam kasus ini saya yang mewakili klien saya hanya meminta salinan jawaban surat verifikasi. Surat verifikasi itu adalah surat perjanjian kontrak antara PT Dalle Energy dan perusahanaan PT Rolika," tegasnya. Seperti diketahui PT Rolika bekerjasama dengan PT Dalle Energy berkaitan dengan adanya proyek catering. Dalam transkasi bisnis ini, PT Dalle telah memberikan order catering kepada PT Rolika untuk proyek PLTU di Pacitan dan Teluk Naga, Banten. [ysa]

JAKARTA - Pengusaha catering nasabah BNI Syariah, Rudi Jundani melaporkan Presiden Direktur BNI Syariah, Dinno Indiano dan dan Divisi Hukum BNI Syariah, Bayi Rohayati ke Bareskrim Mabes Polri karena diduga melakukan tindak pidana membuat atau menyebabkan pencatatan palsu dalam pembukuan/hilang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

"Kami melaporkan Dirut PT BNI Syariah Dinno Indiano dan ke Bareskrim karena diduga melakukan tindak pidana membuat atau menyebabkan pencatatan palsu dalam pembukuan/hilang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 UU No 21 tahun 2008 tentang BNI Syariah," kata Kuasa Hukum Rudy Jundani, Asri Pane kepada wartawan di Jakarta, Minggu (10/1).
Langkah tersebut terpaksa diambil, ujar Asri Pane, karena berbagai cara mulai dari mediasi sampai keputusan Komisi Informasi Pusat dan keputusan Pengadilan tidak diindahkan pihak BNI Syariah.
Asri menceritakan, kasus ini bermula saat kliennya mendapatkan kontrak kerja catering dari PT Dalle Energy pada 7 Agustus 2007 dengan kontrak nomor 001/DE11-6030/DE-RLK/VIII/07 untuk lokasi PLTU 1 Jawa Timur (2x315 MW) Pacitan dan pada 27 September 2007 dengan kontrak nomor 002/DE11-6031/DE-RLK/IX/07 untuk lokasi PLTU 3 Banten (3x315 MW) Teluk Naga Lontar, dengan nilai US$ 40 juta. “Untuk menjalankan kontrak tersebut kami mengajukan pinjaman ke BNI dan pada 2 April 2008, kami dapat fasilitas pembiayaan dari PT BNI Sentra Kredit Menegah Kota berdasarkan surat No. JKM/2.3/137/R atas kedua kontrak tersebut," ungkapnya.
Sejak itu dana mulai dicairkan. Dari Rp 40 miliar yang disepakati untuk fasilitas pinjaman, sekitar Rp 18 miliar sudah dicairkan untuk persiapan kerja dengan pembelian peralatan dan persiapan-persiapan lainnya.  Hingga tanggal 27 Juni 2008, pembiayaan dari PT BNI SKM Kota tersebut diambil alih ke BNI Unit Usaha Syariah yang sekarang menjadi PT Bank BNI Syariah. Dilatakannya, pengalihan sendiri dilakukan karena sang klien ingin melakukan bisnis secara syariah. Namun di tengah jalan, lanjutnya, PT Dalle Enegi tidak memenuhi kontrak penunjukkan kerja yang telah disepakati sehingga proyek tersebut mati di tengah jalan. 
"Klien kami terus berupaya agar bertanya kepada PT Dalle Energi, kenapa kontrak tidak juga dijalankan dan hingga 1 September 2009, PT Rolika Caterindo mengirimkan somasi terakhir kepada  PT Dalle Energi karena pelaksanaan pekerjaan catering belum bisa dilaksanakan karena berbagai alasan. Hingga akhirnya pada tanggal 9 September 2009 PT Rolika Caterindo melaporkan persoalan ini ke Polres Jakarta Selatan dengan LP No. Pol: 1563/K/IX/2009/RES.Jaksel dengan terlapor Sonny Purnara direkturnya, dengan pasal penipuan," jelasnya.
Laporan polisi ini jelas Asri tidak bisa ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian sebab kurangnya alat bukti berupa surat verifikasi proyek yang  dikeluarkan oleh BNI kepada PT Dalle Energi dan jawaban dari PT Dalle Energy kepada pihak BNI. Surat verifikasi dan jawaban PT Dalle Energy inilah yang dimintakan oleh Rudy selama ini dan selama itu pula tidak diberikan oleh pihak BNI Syariah yang kini menjadi kreditor.
"Klien kami kemudian melaporkan hal ini ke Komisi Informasi Publik (KIP) Pusat yang kemudian menyidangkan kasus sengketa informasi antara Pemohon PT Rolika Caterindo terhadap Termohon BNI Syariah. Dalam putusannya KIP menyatakan bahwa informasi yang saya mohonkan merupakan informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh publik. BNI Syariah kemudian menggugat KIP ke PN Jakarta Pusat karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan melampaui wewenangnya," Asri.
Namun PN Jakarta Pusat lanjutnya, memutuskan menolak gugatan BNI Syariah, dan menguatkan Putusan KIP untuk memerintahkan Badan Publik memberikan sebagian atau seluruh informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik. Pemohon dapat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan karena pengajuan gugatan Penggugat BNI Syariah yang menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi KI sudah melewati batas waktu 14 hari kerja setelah diterimanya putusan berdasarkan UU KIP.
"Nah karena saya sudah berusaha dengan berbagai cara mulai dari mediasi sampai keluarkannya keputusan KIP dan pengadilan sampai ada perintah eksekusi, pihak BNI Syariah tidak juga mau mengeluarkan surat tersebut, maka kami pun melaporkan hal ini ke Bareskrim Polri sejak tanggal 15 Desember lalu dan sekarang kami juga akan pertimbangkan untuk melaporkan pemalsuan ini kepada pihak Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia,"pungkasnya.(fas/jpnn)

Kasus 2
RMOL. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkritisi sistem kredit pembiayaan ibadah haji dan umrah di perbankan syariah Indonesia. Hal itu dianggap mempromosikan umat Islam untuk berutang. "Islam tidak menganjurkan untuk berutang kecuali dalam keadaan terpaksa. Berbalik 180 derajat, kini perbankan syariah yang didasari pembentukannya dengan syariat Islam malah melakukan promosi besar-besaran untuk mengajak umat Islam berutang," ujar Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama KH Yusnar Yusuf kepada redaksi, Minggu (28/2).
Dia menjelaskan, perbankan syariah yang dilandasi dengan penerbitan Undang Undang Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tentang menjalankan sistemnya sesuai ajaran Islam. Namun saat ini perkembangannya malah menjadi bertolak belakang. Tidak tanggung-tanggung, ajakan untuk berutang justru melirik pangsa haji dan umrah.
Alasan keterbatasan finansial menjadikan bank syariah seolah hadir sebagai pahlawan dan mengabaikan bahwa haji dan umrah dilakukan bagi umat Islam yang memiliki kesanggupan, termasuk secara finansial."Tak heran jika daftar tunggu haji semakin panjang akibat pembiayaan utang ini, rata-rata 19 tahun, pastinya pertumbuhan daftar tunggu juga akan terus meningkat. Ini tidak benar dan menjadi bank yang tidak mandiri. Market share hanya kisaran 4,5persen," beber Yusnar.
Karena itu, tidak ada bedanya perbankan syariah dengan bank konvensional. MUI sendiri berencana mengirim surat kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meninjau kembali praktik perbankan tersebut. "Jika tidak ada juga reaksi, maka kami akan mengajukan naskah akademik kepada DPR untuk merevisi UU 21 Tahun 2008 yang saat ini sedang kami proses. Jangan manfaatkan ibadah untuk keuntungan apalagi mengajarkan umat Islam untuk berutang soal ibadah, ini akan menjadi budaya buruk nantinya ke depan," tegas Yusnar. [wah] 














Daftar Pustaka


Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press, 2001.




[1] Ali Zainuddin Ali. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta : Sinar Grafika, 2008 hlm : 72
[2] http://www.wibowopajak.com/2012/02/undang-undang-nomor-21-tahun-2008.html

[3] ibid
[4] ibid
[5] ibid
[6] ibid
[7] ibid
[8] ibid
[9] ibid
[10] M. Syafi’I, Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema Insani Press, 2001, hlm 92

[11] Ibid : hlm 93

1 komentar:

  1. Apakah Anda mencari pinjaman pribadi, Atau kau menolak pinjaman oleh bank. Aku memberikan pinjaman kepada perusahaan dan individu pada tingkat bunga rendah dan terjangkau dari 2% Bunga. Silahkan hubungi kami melalui email:
    specialgraceloanfirm@gmail.com
    divinegraceloanfirm@outlook.com

    Terima kasih,
    Ibu Elizabeth Daniel

    BalasHapus