MAKALAH HUKUM PERBANKAN SYARIAH
“ UU NO 21 TAHUN 2008 “
Dosen pengampu : Richa Angkita Mulyawisdawati,
S.H.I.,M.A.
Disusun oleh :
1. Fitria Dini Q (213-14-098)
2. Khairul Azizah
(213-14-103)
3. Nurul Fadhilah (213-14-204)
S1 PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) SALATIGA
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya
dapat meneyelesaikan makalah tentang “UU No. 21 tahun 2008” dengan baik
meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Dan kami juga berterima kasih pada Ibu
Richa selaku Dosen mata kuliah Hukum Perbankan Syariah yang telah membimbing
penyusunan makalah ini.
Kami berharap makalah ini berguna dalam
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai UU No.21 tahun 2008. Kami juga
menyadari bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik serta saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan.
Salatiga,
16 Maret 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makalah ini ditujukan untuk membahas masalah
tentang perbankan syariah dalam artian bank tanpa bunga atau bank dengan
prinsip perjanjian bagi hasil sudah mulai diperkenalkan di negara kita sejak
awal tahun 1990-an. Kemudian ditetapkan di dalam undang-undang no 21 tahun 2008
(LN tahun 2008 no 94) tentang perbankan syariah yang ditetapkan dan mulai
berlaku tanggal 16 Juli 2008. Sebelum ditetapkannya undang-undang no 21 tahun
2008 pengaturan tentang perbankan syariah sudah dilakukan dalam beberapa
undang-undang dan peraturan bank Indonesia belum memadai.
Apa yang dimaksud dengan perbankan syariah?
Pasal 1 angka 1 undang-undang no 21 tahun 2008 menyebutkan perbankan syariah
adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha
syariah, mencangkup kelembagaan kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
UU No.21 tahun 2008 menjelaskan mengenai Perbankan syariah, pada Bab 1
pasal 1 berisi mengenai ketentuan umum yang terdiri dari pengertian : Perbankan
Syariah, Bank, Bank Indonesia, Bank Konvensional, Bank umum Konvensional, Bank
Pekreditan Rakyat, Bank Syariah, Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah, Unit Usaha Syariah, Kantor Cabang, Prinsip Syariah, Akad, Rahasia
Bank, Pihak Terafiliasi, Nasabah, Nasabah Penyimpanan, Nasabah penerima fasilitas,
Simpanan, Tabungan, Deposito, Giro, Investasi, Pembiayaan, Agunan, Penitipan,
Wali Amanat, Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan Pemisahan.
Dan selengkapnya akan dibahas didalam makalah
ini.
B.
Rumusan
Masalah
a. Apa landasan hukum perbankan syariah di Indonesia ?
b.
Bagaimana
penjelasan undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah ?
C.
Tujuan
a.
Memberikan
informasi kepada pembaca agar mengetahui landasan hukum perbankan syariah di
Indonesia.
b.
Memberikan
pengetahuan kepada pembaca agar mengetahui isi dan penjelasan undang-undang
Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Uraian berikut adalah penjelasan historis dari adanya landasan hukum
perbankan syariah di Indonesia. Untuk diketahui bahwa, bank syariah di
Indonesia mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sektor perbankan
pada tahun 1983.Hal ini karena sejak saat itu diberikan keleluasaan penentu tingkat
suku bunga termasuk nol persen (perniagaan bunga sekaligus), dengan demikian
kesempatan ini belum termanfaatkan dengan baik karena tidak diperkenankannya
pembukaan kantor bank baru.
Kondisi diatas berlangsung sampai tahun 1988 dimana pemerintah mengeluarkan
Paket Oktober (Pakto) 1988 yang memperkenankan berdirinya bank-bank baru.
Kemudian posisi perbankan syariah semakin pasti setelah disahkannya UU
Perbankan No. 7 Tahun 1992 dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan
jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan
bagi hasil.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1992 Tentang Bank
Bagi Hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa “bank bagi hasil tidak
boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil
(bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usaha tidak berdasarkan prinsip bagi
hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi
hasil” (pasal 6), maka jalan bagi operasional perbankan syariah semakin luas.
Saat ini, titik kulminasi (puncak tertinggi) landasan hukum perbankan
syariah telah tercapai dengan disahkannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah, yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan
mendirikan bank syariah maupun yang ingin mengkonversi dari sistem konvensional
menjadi sistem syariah.
1. Pendirian kantor cabang atau di bawah kantor cabang baru, atau
2. Pengubahan kantor cabang atau di bawah kantor cabang yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.[1]
B.
Penjelasan
Atas Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 21 Tahun 2008 TentangPerbankan
Syariah
1.
Umum
Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang
DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan pembangunan nasional adalahterciptanya
masyarakat adil dan makmur, berdasarkan demokrasiekonomi, dengan mengembangkan
sistem ekonomi yang bertumpu padamekanisme pasar yang berkeadilan. Guna
mewujudkan tujuan tersebut,pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan
padaperekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri,handal,
berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomianinternasional.[2]
Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktifdalam
persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusisemua
elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensimasyarakat guna mendukung
proses akselerasi ekonomi dalam upayamerealisasikan tujuan pembangunan
nasional. Salah satu bentukpenggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat
dalam perekonomiannasional adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan
nilaiIslam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam SistemHukum
Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan,kemanfaatan,
keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin).Nilai-nilai
tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan berdaasarkan
Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah.Prinsip Perbankan Syariah
merupakan bagian dari ajaran Islam yangberkaitan dengan ekonomi. Salah satu
prinsip dalam ekonomi Islamadalah larangan riba dalam berbagai bentuknya dan
menggunakan prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, BankSyariah dapat
menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karenasemua pihak dapat saling
berbagi keuntungan maupun potensi risikosehingga akan menciptakan posisi yang
berimbang antarabank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan
mendorongpemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak
hanyadinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola
modal.Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasionalmemerlukan
berbagai sarana pendukung agar dapat memberikankontribusi yang maksimum bagi
pengembangan ekonomi nasional. Salahsatu sarana pendukung vital adalah adanya
pengaturan yang memadaidan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut
di antaranyadituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah.
PembentukanUndang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan
keniscayaanbagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai
PerbankanSyariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankansebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998belum
spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasionalPerbankan Syariah,
dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usahaBank Syariah berkembang cukup
pesat.
Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders
dan memberi keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produkdan jasa
Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah inidiatur jenis usaha,
ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha,penyaluran dana, dan larangan
bagi Bank Syariah maupun UUS (bagian dari Bank
Umum Konvensional). Sementara itu, untukmemberikan keyakinan pada masyarakat yang
masih meragukankesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur
pulakegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
meliputikegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar,haram
dan zalim.
Sebagai undang-undang yang khusus mengatur
perbankan syariah, dalamUndang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan
syariah (syariahcompliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama
Indonesia(MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yangharus
dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untukmenindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke
dalamPeraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentukkomite
perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilandari Bank
Indonesia, Departemen Agama dan unsur masyarakat yangkomposisinya berimbang.[3]
Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul
padaperbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkunganPeradilan
Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaiansengketa melalui
musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitraseatau melalui pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum sepanjangdisepakati di dalam Akad oleh para pihak.Untuk menerapkan substansi undang-undang
perbankan syariah ini,maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih
beradadalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan,apabila
telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkanuntuk memisahkan
UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhitata
cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan BankIndonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi
PerbankanSyariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk
menjaminterpenuhinya prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank bagi
BankSyariah, dan yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasidana
dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap BankSyariah dalam
undang-undang tersendiri.
2.
Per Pasal
Bab I berisi tentang Ketentuan Umum
UU No.21 tahun 2008 menjelaskan mengenai
Perbankan syariah, pada Bab 1 pasal 1 berisi mengenai ketentuan umum yang
terdiri dari pengertian : Perbankan Syariah, Bank, Bank Indonesia, Bank
Konvensional, Bank umum Konvensional, Bank Pekreditan Rakyat, Bank Syariah,
Bank Umum Syariah, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, Unit Usaha Syariah, Kantor
Cabang, Prinsip Syariah, Akad, Rahasia Bank, Pihak Terafiliasi, Nasabah,
Nasabah Penyimpanan, Nasabah penerima fasilitas, Simpanan, Tabungan, Deposito,
Giro, Investasi, Pembiayaan, Agunan, Penitipan, Wali Amanat, Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan dan Pemisahan.[4]
Bab II berisi tentang Asas, Tujuan, dan Fungsi
Bab II terdiri dari 3 pasal, pada bagian
pertama membahas mengenai Asas Perbankan. Perbankan syariah dalam melakukan
kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip
kehati-hatian. Tujuan Perbankan Syariah adalah menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan
pemerataan kesejahteraan rakyat. Sedangkan fungsi Bank Syariah adalah :
a.
Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi
menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
b.
Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi
sosial dalam bentuk lembaga baitul mal
c.
Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana
sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir)
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).
d.
Pelaksanaan
fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat(2) dan ayat (3) sesuai dengan
ketentuan peraturanperundang-undangan.
Bab III akan dijelaskan tentang Perizinan, Bentuk Badan
Hukum, Anggaran Dasar, dan Kepemilikan
Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan
usaha Bank Syariah atau UUS wajib memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah
atau UUS dari Bank Indonesia. Dengan syarat harus memenuhi sekurang-kurangnya: susunan organisasi dan kepengurusan, permodalan, kepemilikan,
keahlian di bidang Perbankan Syariahdan kelayakan
usaha. Bentuk badan
hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.Di
dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhipersyaratan anggaran dasarsebagaimana
diatur dalam ketentuanperaturan perundang-undangan memuat pula ketentuan:
a.
Pengangkatan
anggota direksi dan komisaris harusmendapatkan persetujuan Bank Indonesia.
b.
Rapat
Umum Pemegang Saham Bank Syariah harusmenetapkan tugas manajemen,remunerasi
komisaris dandireksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkandan biaya
jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hallainnya yang ditetapkan dalam
Peraturan Bank Indonesia.[5]
Pendirian dan kepemilikan Bank Syariah
a.
Bank
Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/ataudimiliki oleh:
1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hokumIndonesia
2. Warga negara Indonesia dan/atau badan hokumIndonesia dengan warga
negara asing dan/atau badanhukum asing secara kemitraan; atau
3. Pemerintah daerah.
b.
Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikandan/atau dimiliki oleh:
1. Warga negara Indonesia dan/atau badan hukumIndonesia
yang seluruh pemiliknya warga NegaraIndonesia
2. Pemerintah daerah
3. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalamhuruf a dan huruf b.
c.
Maksimum
kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warganegara asing dan/atau badan hukum asing
diatur dalamPeraturan Bank Indonesia.
Bab IV berisi tentang jenis dan kegiatan usaha, kelayakan
penyaluran dana dan larangan bagi Bank Syariah dan UUS
Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah
dan BankPembiayaan Rakyat Syariah.Kegiatan usaha Bank Umum Syariah menghimpun
dan menyalurkan dana pihak ketiga serta memberikan fasilitas letter of credit
atau bank garansi sesuai prinsip syariah dan melakukan fungsi sebagai wali
amanat berdasarkan akad wakalah. Bank
Umum Syariah dilarang:
1.
Melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan denganPrinsip Syariah
2.
Melakukan
kegiatan jual beli saham secara langsung dipasar modal
3.
Melakukan
penyertaan modal
4.
Melakukan
kegiatan usaha perasuransian, kecualisebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah.
Sedangkan UUS dilarang:
1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan denganPrinsip Syariah
2.
Melakukan
kegiatan jual beli saham secara langsung di pasar
modal
3.
Melakukan
penyertaan modal, kecuali sebagaimanadimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c
4.
Melakukan
kegiatan usaha perasuransian, kecualisebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah.[6]
Bab V berisi tentang pemegang saham pengendali, dewan
komisaris, dewan pengawas syariah, direksi, dan tenaga kerja asing
Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah
wajib lulusuji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh BankIndonesia.Dan pemegang
saham pengendali yang tidak lulus ujikemampuan dan kepatutan wajib menurunkan
kepemilikansahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen).Ketentuan
mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan,tanggung jawab, serta hal lain yang
menyangkut dewan komisarisdan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar
BankSyariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariahdan Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUS. Dewan pengawas Syariah diangkat oleh rapat umum pemegang
saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. Tugas Dewan Pengawas Syariah
adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan
Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.Dalam menjalankan kegiatannya, Bank
Syariah dapat menggunakan tenaga kerja asing. Tata
carapenggunaan tenaga kerja asing sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.
Bab VI berisi tentang tata kelola, prinsip kehati-hatian
dan pengelolaan risiko Perbankan Syariah
Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata
kelola yangbaik yang mencakup prinsip transparansi,
akuntabilitas,pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalammenjalankan
kegiatan usahanya.Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatanusahanyawajib menerapkan
prinsip kehati-hatian.Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia
laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta
penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum,
serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan
Peraturan Bank Indonesia.Bank Syariah dan UUS wajib messnerapkan manajemen
risiko,prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.
Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada
Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi
Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah dan/atau UUS.[7]
Bab VII berisi tentang rahasia bank
Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keteranganmengenai
Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta NasabahInvestor dan Investasinya. Informasi Bank dapat disampaikan ke pihak
lain yang berkepentingan jika digunakan untuk :
1. Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinanBank
Indonesia atas permintaan Menteri Keuanganberwenang mengeluarkan perintah
tertulis kepada Bankagar memberikan keterangan dan memperlihatkan buktitertulis
serta surat mengenai keadaan keuangan NasabahPenyimpan atau Nasabah Investor
tertentu kepada pejabatpajak.
2. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,pimpinan Bank
Indonesia dapat memberikan izin kepadapolisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain
yang diberi wewenangberdasarkan undang-undang untuk memperoleh keterangandari
Bank mengenai Simpanan atau Investasi tersangka atauterdakwa pada Bank.
3. Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksiBank yang
bersangkutan dapat menginformasikan kepadapengadilan tentang keadaan keuangan
Nasabah yangbersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevandengan
perkara tersebut.
Bab VIII berisi tentang pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukanoleh Bank
Indonesia.Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan Bank Indonesiaberwenang:
1.
Memeriksa
dan mengambil data/dokumen dari setiaptempat yang terkait dengan Bank
2.
Memeriksa
dan mengambil data/dokumen danketerangan dari setiap pihak yang menurut
penilaianBank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank
3.
Memerintahkan
Bank melakukan pemblokiran rekeningtertentu, baik rekening Simpanan maupun
rekeningPembiayaan.[8]
Bab IX berisi tentang penyelesaian sengketa
Penyelesaian sengketa dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan akad dan juga tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Bab X berisi tentang sanksi administratif
Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif
kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan Pengawas
Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional
yang memiliki UUS, yang menghalangi dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah
dalam menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi kewajibannya
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. Bank Indonesia mengenakan
sanksi administratif kepada Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris,
anggota Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini
adalah:
1. denda uang
2. teguran tertulis
3. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS
4. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring
5. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun
untuk Bank Syariah dan UUS secara keseluruhan
6. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang
memiliki UUS, dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara
sampai Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan Bank Indonesia
7. pencantuman anggota pengurus, pegawai, danpemegang saham Bank
Syariah dan Bank UmumKonvensional yang memiliki UUS dalam daftar orangtercela
di bidangperbankan
Bab XI berisi tentang ketentuan pidana.
a. Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah,UUS, atau
kegiatan penghimpunan dana dalam bentukSimpanan atau Investasi berdasarkan
Prinsip Syariah tanpaizin usaha dari Bank Indonesiadipidana dengan pidanapenjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15(lima belas)tahun dan pidana
denda paling sedikitRp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan palingbanyak
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
b. Setiap orang yang dengan
sengaja tanpa membawa perintahtertulis atau izin dari Bank Indonesia memaksa
Bank Syariah, UUS,atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan,dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahundan paling lama 4 (empat)
tahun dan pidana denda palingsedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) danpaling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliarrupiah).[10]
c. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariahatau Bank
Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengansengaja tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhisebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47,
dan Pasal 48dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
danpaling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikitRp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyakRp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
d. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai BankSyariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUSyang dengan sengaja:
a) Tidak menyampaikan laporan keuangan
b)
Tidak
memberikan keterangan atau tidak melaksanakanperintah yang wajib dipenuhi
sebagaimana dimaksuddalam Pasal 52dipidana dengan pidana penjara paling singkat
2 (dua) tahundan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda palingsedikit
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan palingbanyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
e. Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai BankSyariah atau
Bank Umum Konvensional yang memiliki UUSyang dengan sengaja:
a) Membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsudalam pembukuan atau dalam
laporan, dokumen ataulaporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksiatau
rekening suatu Bank Syariah atau UUS
b) Menghilangkan atau tidak memasukkan ataumenyebabkan tidak dilakukannya pencatatan
dalampembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporankegiatan usaha, dan/atau
laporan transaksi ataurekening suatu Bank Syariah atau UUS
c) mengubah, mengaburkan, menyembunyikan,menghapus, atau menghilangkan adanya
suatupencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,dokumen atau laporan
kegiatan usaha, dan/ataulaporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariahatau
UUS, atau dengan sengaja mengubah,mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan,
ataumerusak catatan pembukuan tersebutdipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahundan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
dendapaling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)dan paling
banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliarrupiah).
d) Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakanlangkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatanBank Syariah atau Bank Umum
Konvensional yang memiliki UUSterhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini
dipidana denganpidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8(delapan) tahun dan pidana denda
paling sedikitRp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling
banyakRp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).[11]
Kasus 1
:
RMOL. Merasa dirugikan oleh Bank BNI Syariah
terkait dengan tidak diterbit verifikasi perjanjian kontrak kerja No
002/DE11-6031/DE-RLK/IX/07 jasa catering di PLTU 3 Teluk Naga, Banten, akhirnya
HM Rudy Jundani melalui pengacaranya Arsi Pane melaporkan Bank BNI Syariah ke
Bareskrim Mabes Polri. Laporan itu sendiri sudah diterima dengan nopol
LP/1397/XII/2015 Bareskrim tertanggal 15 Desember 2015. " Tadi kita sudah
diperiksa terkait tindak pidana dengan pencatatan palsu dalam pembukuan,"
ujar Arsi Pane di Mabes Polri, Kamis (7/1).
Menurut Pane, dalam hal ini polisi menggunakan
UU No. 21 Tahun 2008 Pasal 63 tentang Perbankan Syariah. " Dalam pasal ini
sudah jelas adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen
atau laporan kegiatan usaha dan laporan transaksi," paparnya. Kembali
djelaskan oleh Asri Pane, kliennya akhirnya memengkan gugatan dari Bank BNI
Syariah di Pengandilan Niaga Jakarta Pusat. Atas dasar keputusan tersebut,
seharusnya Bank BNI Syariah meloloskan pinjaman terhadap PT Rolika Caterindo.
Seperti diketahui kasus ini sendiri berawal dimana BNI Syariah memberikan pinjaman
senilai Rp 3,7 miliar, dimanadana itu untuk take over fasilitas kredit modal
kerja dan service katering dengan jangka waktu pembiayaan selama 12 bulan.
Dimana itu terhitung sejak akad yang hingga harus dibayar setiap akhir bulan.
" Padahal dalam kasus ini saya yang mewakili klien saya hanya meminta
salinan jawaban surat verifikasi. Surat verifikasi itu adalah surat perjanjian
kontrak antara PT Dalle Energy dan perusahanaan PT Rolika," tegasnya.
Seperti diketahui PT Rolika bekerjasama dengan PT Dalle Energy berkaitan dengan
adanya proyek catering. Dalam transkasi bisnis ini, PT Dalle telah memberikan
order catering kepada PT Rolika untuk proyek PLTU di Pacitan dan Teluk Naga,
Banten. [ysa]
JAKARTA - Pengusaha catering nasabah BNI Syariah, Rudi Jundani
melaporkan Presiden Direktur BNI Syariah, Dinno Indiano dan dan Divisi Hukum
BNI Syariah, Bayi Rohayati ke Bareskrim Mabes Polri karena diduga melakukan
tindak pidana membuat atau menyebabkan pencatatan palsu dalam pembukuan/hilang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
"Kami
melaporkan Dirut PT BNI Syariah Dinno Indiano dan ke Bareskrim karena diduga
melakukan tindak pidana membuat atau menyebabkan pencatatan palsu dalam
pembukuan/hilang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 UU No 21 tahun 2008
tentang BNI Syariah," kata Kuasa Hukum Rudy Jundani, Asri Pane kepada
wartawan di Jakarta, Minggu (10/1).
Langkah
tersebut terpaksa diambil, ujar Asri Pane, karena berbagai cara mulai dari
mediasi sampai keputusan Komisi Informasi Pusat dan keputusan Pengadilan tidak
diindahkan pihak BNI Syariah.
Asri
menceritakan, kasus ini bermula saat kliennya mendapatkan kontrak kerja
catering dari PT Dalle Energy pada 7 Agustus 2007 dengan kontrak nomor
001/DE11-6030/DE-RLK/VIII/07 untuk lokasi PLTU 1 Jawa Timur (2x315 MW) Pacitan
dan pada 27 September 2007 dengan kontrak nomor 002/DE11-6031/DE-RLK/IX/07
untuk lokasi PLTU 3 Banten (3x315 MW) Teluk Naga Lontar, dengan nilai US$ 40
juta. “Untuk menjalankan kontrak tersebut kami mengajukan pinjaman ke BNI dan
pada 2 April 2008, kami dapat fasilitas pembiayaan dari PT BNI Sentra Kredit
Menegah Kota berdasarkan surat No. JKM/2.3/137/R atas kedua kontrak
tersebut," ungkapnya.
Sejak
itu dana mulai dicairkan. Dari Rp 40 miliar yang disepakati untuk fasilitas
pinjaman, sekitar Rp 18 miliar sudah dicairkan untuk persiapan kerja dengan
pembelian peralatan dan persiapan-persiapan lainnya. Hingga tanggal 27
Juni 2008, pembiayaan dari PT BNI SKM Kota tersebut diambil alih ke BNI Unit Usaha
Syariah yang sekarang menjadi PT Bank BNI Syariah. Dilatakannya, pengalihan
sendiri dilakukan karena sang klien ingin melakukan bisnis secara syariah.
Namun di tengah jalan, lanjutnya, PT Dalle Enegi tidak memenuhi kontrak
penunjukkan kerja yang telah disepakati sehingga proyek tersebut mati di tengah
jalan.
"Klien
kami terus berupaya agar bertanya kepada PT Dalle Energi, kenapa kontrak tidak
juga dijalankan dan hingga 1 September 2009, PT Rolika Caterindo mengirimkan
somasi terakhir kepada PT Dalle Energi karena pelaksanaan pekerjaan
catering belum bisa dilaksanakan karena berbagai alasan. Hingga akhirnya pada
tanggal 9 September 2009 PT Rolika Caterindo melaporkan persoalan ini ke Polres
Jakarta Selatan dengan LP No. Pol: 1563/K/IX/2009/RES.Jaksel dengan terlapor
Sonny Purnara direkturnya, dengan pasal penipuan," jelasnya.
Laporan
polisi ini jelas Asri tidak bisa ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian sebab
kurangnya alat bukti berupa surat verifikasi proyek yang dikeluarkan oleh
BNI kepada PT Dalle Energi dan jawaban dari PT Dalle Energy kepada pihak BNI.
Surat verifikasi dan jawaban PT Dalle Energy inilah yang dimintakan oleh Rudy
selama ini dan selama itu pula tidak diberikan oleh pihak BNI Syariah yang kini
menjadi kreditor.
"Klien
kami kemudian melaporkan hal ini ke Komisi Informasi Publik (KIP) Pusat yang
kemudian menyidangkan kasus sengketa informasi antara Pemohon PT Rolika
Caterindo terhadap Termohon BNI Syariah. Dalam putusannya KIP menyatakan bahwa
informasi yang saya mohonkan merupakan informasi yang terbuka dan dapat diakses
oleh publik. BNI Syariah kemudian menggugat KIP ke PN Jakarta Pusat karena
dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan melampaui
wewenangnya," Asri.
Namun PN
Jakarta Pusat lanjutnya, memutuskan menolak gugatan BNI Syariah, dan menguatkan
Putusan KIP untuk memerintahkan Badan Publik memberikan sebagian atau seluruh
informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik. Pemohon dapat mengajukan
permohonan eksekusi ke pengadilan karena pengajuan gugatan Penggugat BNI Syariah
yang menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi KI sudah melewati batas waktu
14 hari kerja setelah diterimanya putusan berdasarkan UU KIP.
"Nah
karena saya sudah berusaha dengan berbagai cara mulai dari mediasi sampai
keluarkannya keputusan KIP dan pengadilan sampai ada perintah eksekusi, pihak
BNI Syariah tidak juga mau mengeluarkan surat tersebut, maka kami pun
melaporkan hal ini ke Bareskrim Polri sejak tanggal 15 Desember lalu dan
sekarang kami juga akan pertimbangkan untuk melaporkan pemalsuan ini kepada
pihak Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia,"pungkasnya.(fas/jpnn)
Kasus 2
RMOL. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengkritisi sistem kredit pembiayaan ibadah haji dan
umrah di perbankan syariah Indonesia. Hal itu dianggap mempromosikan umat Islam
untuk berutang. "Islam tidak menganjurkan untuk berutang kecuali dalam
keadaan terpaksa. Berbalik 180 derajat, kini perbankan syariah yang didasari
pembentukannya dengan syariat Islam malah melakukan promosi besar-besaran untuk
mengajak umat Islam berutang," ujar Ketua MUI Bidang Kerukunan Umat Beragama
KH Yusnar Yusuf kepada redaksi, Minggu (28/2).
Dia menjelaskan, perbankan syariah yang dilandasi dengan penerbitan Undang Undang Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tentang menjalankan sistemnya sesuai ajaran Islam. Namun saat ini perkembangannya malah menjadi bertolak belakang. Tidak tanggung-tanggung, ajakan untuk berutang justru melirik pangsa haji dan umrah.
Alasan keterbatasan finansial menjadikan bank syariah seolah hadir sebagai pahlawan dan mengabaikan bahwa haji dan umrah dilakukan bagi umat Islam yang memiliki kesanggupan, termasuk secara finansial."Tak heran jika daftar tunggu haji semakin panjang akibat pembiayaan utang ini, rata-rata 19 tahun, pastinya pertumbuhan daftar tunggu juga akan terus meningkat. Ini tidak benar dan menjadi bank yang tidak mandiri. Market share hanya kisaran 4,5persen," beber Yusnar.
Dia menjelaskan, perbankan syariah yang dilandasi dengan penerbitan Undang Undang Nomor 21/2008 tentang Perbankan Syariah mengatur tentang menjalankan sistemnya sesuai ajaran Islam. Namun saat ini perkembangannya malah menjadi bertolak belakang. Tidak tanggung-tanggung, ajakan untuk berutang justru melirik pangsa haji dan umrah.
Alasan keterbatasan finansial menjadikan bank syariah seolah hadir sebagai pahlawan dan mengabaikan bahwa haji dan umrah dilakukan bagi umat Islam yang memiliki kesanggupan, termasuk secara finansial."Tak heran jika daftar tunggu haji semakin panjang akibat pembiayaan utang ini, rata-rata 19 tahun, pastinya pertumbuhan daftar tunggu juga akan terus meningkat. Ini tidak benar dan menjadi bank yang tidak mandiri. Market share hanya kisaran 4,5persen," beber Yusnar.
Karena itu, tidak ada bedanya perbankan syariah
dengan bank konvensional. MUI sendiri berencana mengirim surat kepada Bank
Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meninjau kembali praktik
perbankan tersebut. "Jika tidak ada juga reaksi, maka kami akan mengajukan
naskah akademik kepada DPR untuk merevisi UU 21 Tahun 2008 yang saat ini sedang
kami proses. Jangan manfaatkan ibadah untuk keuntungan apalagi mengajarkan umat
Islam untuk berutang soal ibadah, ini akan menjadi budaya buruk nantinya ke
depan," tegas Yusnar. [wah]
Daftar Pustaka
Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta
: Sinar Grafika, 2008.
Antonio, M. Syafi’i. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta
: Gema Insani Press, 2001.
[1] Ali Zainuddin
Ali. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta : Sinar Grafika, 2008 hlm : 72
[2]
http://www.wibowopajak.com/2012/02/undang-undang-nomor-21-tahun-2008.html
[3]
ibid
[4]
ibid
[5]
ibid
[6]
ibid
[7]
ibid
[8]
ibid
[9]
ibid
[10] M. Syafi’I,
Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta : Gema
Insani Press, 2001, hlm 92
[11]
Ibid : hlm 93
Apakah Anda mencari pinjaman pribadi, Atau kau menolak pinjaman oleh bank. Aku memberikan pinjaman kepada perusahaan dan individu pada tingkat bunga rendah dan terjangkau dari 2% Bunga. Silahkan hubungi kami melalui email:
BalasHapusspecialgraceloanfirm@gmail.com
divinegraceloanfirm@outlook.com
Terima kasih,
Ibu Elizabeth Daniel