MAKALAH
ILMU, SEJARAH PERKEMBANGAN DAN ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT ILMU
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Ahmad Muzakil Anam, M.Pd.I.
Oleh :
Ø Fitriya Dini Q (213-14-098)
Ø Nur Janah (213-14-037)
Ø Sesanti (213-14-)
Ø Wahyu Imawati (213-14-)
PERBANKAN SYARIAH S1
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2016
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah swt yang telah memberikan berkah dan
karunianya kepada kami. Sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Tidak lupa pula sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah meninggalkan contoh cemerlang tentang bagaimana seharusnya menjalani
hidup dan kehidupan kita didunia ini.
Penulisan makalah ilmu, sejarah perkembangan dan aliran-aliran
filsafat ilmu ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu.
Penulis menyadari memiliki keterbatasan pengetahuan dan wawasan dalam menyusun
kalimat, atau tata bahasa dan ejaan yang dipakai dalam menyelesaikan makalah
ini. Penulis juga menyadari baik isi maupun penyajian makalah ini masih belum
sempurna. Namun berkat bantuan berbagai pihak, serta usaha kami sendiri
sehingga makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya.
Penulis meminta maaf apabila pada penulisan makalah ini banyak ditemukan
berbagai kekurangan karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu,
sumbangan saran, kritik pendapat yang sehat dan membangun sangatlah kami
harapkan agar makalah ini menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua.
Salatiga, September 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Filsafat
adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara
kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan
melakukan eksperimen dan percobaan, terapi dengan mengutarakan masalah secara
persis, mencari solusi, untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat
untuk solusi tertentu. Akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah
proses dialektika. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan
logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam
matematika dan filsafat. Hal itu membuat filsafat menjadi sebuah ilmu yang pada
sisi-sisi tertentu berciri eksak disamping nuansa khas filsafat, yaitu
spekulasi, keraguan dan ketertarikan. Filsafat juga bisa berarti perjalanan
menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh
disiplin ilmu lain dengan sikap skeptic yang mempertanyakan segala hal.
Mula-mula
filsafat berarti sifat seseorang berusaha menjadi bijak, selanjutnya filsafat
mulai menyempit yaitu lebih menekankan pada latihan berpikir untuk memenuhi
kesenangan intelektual, juga filsafat pada masa ini ialah menjawab pertanyaan
yang tinggi yaitu pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh sains. Secara
terminology filsafat banyak diartikan oleh para ahli secara berbeda, perbedaan
konotasi filsafat disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan pandangan hidup
berbeda serta akibat perkembangan filsafat itu sendiri seperti : james melihat
konotasi filsafat sebagai kumpulan pertanyaan yang tidak pernah terjawab oleh
sains secara memuaskan. Russel melihat filsafat pada sifatnya ialah usaha
menjawab, objeknya ultimate question. Phytagoras menunjukkan
filsafat sebagai perenungan tentang ketuhanan. Poedjawijatna (1974:11)
menyatakan filsafat diartikan ingin mencapai pandai, cinta, pada kebijakan, dan
sebagai jenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya
bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Hasbullah Bakry (1971:11)
mengatakan filsafat menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai
ketuhanan, alam semesta, dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan
bagiamana sikap manusia itu harus setelah mencapai pengetahuan itu, dan masih
banyak pendapat dari tokoh-tokoh lainnya.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
dari ilmu itu?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan filsafat ilmu?
3.
Apa saja aliran-aliran
dalam filsafat ilmu?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian dari lmu
2.
Untuk
mengetahui bagaimana sejarah perkembangan dari filsafat ilmu
3.
Untuk
mengetahui aliran-aliran yang terdapat dalam filsafat ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ilmu
Pengertian ilmu
secara lengkap Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan
dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang
pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan
kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya
Berikut ini
adalah pengertian ilmu menurut para ahli [1]:
1.
Pengertian ilmu
menurut DR. H. M. Gade Ilmu adalah falsafah. yaitu hasil pemikiran tentang batas-batas pengetahuan
manusia.
2.
Pengertian ilmu
menurut M. Izuddin Taufiq Ilmu adalah penelusuran data atau informasi melalui
pengamatan, pengkajian dan eksperimen, dengan tujuan menetapkan hakikat,
landasan dasar ataupun asal usulnya.
3.
Pengertian ilmu
menurut Thomas Kuhn Ilmu adalah himpunan aktivitas yang menghasilkan banyak
penemuan, bail dalamurice bentuk penolakan maupun pengembangannya.
4.
Pengertian ilmu
menurut Dr. Maurice Bucaille Ilmu adalah kunci untuk mengungkapkan segala hal,
baik dalam jangka waktu yang lama maupun sebentar.
5.
Pengertian ilmu
menurut NS. Asmadi Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang padat dan proses
mengetahui melalui penyelidikan yang sistematis dan terkendali (metode ilmiah).
6.
Pengertian ilmu
menurut Poespoprodjo Pengertian Ilmu adalah proses
perbaikan diri secara bersinambungan yang meliputi perkembangan teori dan uji
empiris
Dari semua Pendapat tentang
Pengertian Ilmu di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Ilmu bukan sekadar
pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan
teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan
seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut
filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai
pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.
B.
Sejarah Perkembangan Filsafat
Ilmu[2]
Kata filsafat ilmu merupakan hal yang sangat penting
utamanya dalam pengkajian ilmu pengetahuan, karena filsafat ilmu merupakan keinginan mendalam
untuk mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Berdasar kepada
pengertian filsafat tersebut, dapat didefenisikan bahwa filsafat itu memang sudah
ada sejak adanya manusia pertama yaitu nabi adam AS. Berikut periodesasi
filsafat ilmu:
1.
Zaman
Purba (15 SM - 7 S1V)
Pada
dasarnya manusia di zaman purba hanyalah menerima semua peristiwa sebagai
fakta. Sekalipun dilaksanakan pengamatan, pengumpulan data dan sebagainya,
namun mereka sekadar menerima pengumpulan saja. Fakta-fakta hanya
diolah
sekadarnya, hanya untuk menemukan soal yang sama, yaitu common denominator, itu pun barangkali
tanpa sengaja, tanpa tujuan. Kalaupun ada penegasan atau keterangan, maka
keterangan itu senantiasa dihubungkan dengan dewa-dewa dan mistik. Oleh karena
itulah pengamatan perbintangan menjelma menjadi astrologi. pengamatan yang
dilakukan oleh manusia pada zaman purba, yang menerima fakta sebagai brute
factr atau on the face value, menunjukkan bahwa manusia di zaman purba masih
berada pada tingkatan sekedar menerima, baik dalam sikap maupun dalam pemikiran
(receptive attitude dan receptive mind) (Santoso,1977: 27).
Perkembangan
pengetahuan dan kebudayaan manusia pada zaman purba dapat diruntut jauh ke
belakang, bahkan sebelum abad 15 SM, terutama pada zaman batu. Pengetahuan pada
masa itu diarahkan pada pengetahuan yang bersifat praktis, yaitu pengetahuan
yang memberi manfaat langsung kepada masyarakat. Kapan dimulainya zaman batu
tidak dapat ditentukan dengan pasti, namun para ahli berpendapat bahwa zaman
batu berlangsung selama jutaan tahun.
Sesuai dengan
namanya, zaman batu, pada masa itu manusia menggunakan batu sebagai
peralatan. Hal ini tampak dari temuan- temuan seperti kapak yang digunakan
untuk memotong membelah. Selain menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu
manusia pada zaman itu juga menggunakan tulang binatang. Alat yang terbuat dari
tulang binatang antara lain digunakan menyerupai fungsi jarum untuk menjahit.
Ditemukannya benda- benda hasil peninggalan pada zaman batu merupakan suatu
bukti bahwa manusia sebagai makhluk berbudaya mampu berkreasi untuk mengatasi
tantangan alam sekitarnya.
Seiring dengan
perkembangan waktu, benda-benda yang dipergunakan pun mengalami
kemajuan dan perbaikan. Penemuan dilakukan berdasarkan pengamatan, dan mungkin
dilanjutkan dengan percobaan-percobaan tanpa dasar, menuruti proses and error.
Akhirnya, dari proses trial and error,
yang memakan waktu ratusan bahkan ribuan tahun inilah terjadi perkembangan
penyempurnaan pembuatan alat-alat yang digunakan, sehingga manusia menemukan
bahan dasar pembuatan alat yang baik, kuat serta hasilnya pun menjadi lebih
baik. Dengan demikian tersusunlah pengetahuan know how. Dalam bentuk know how itulah penemuan-penemuan
tersebut diwariskan pada generasi-generasi selanjutnya.
2. Pra Yunani
Kuno (abad 15-7 SM)
Dalam sejarah
perkembangan peradaban manusia. Yakni ketika belum mengenal peralatan seperti
yang dipakai sekarang ini. Pada masa itu manusia masih menggunakan batu sebagai
peralatan. Masa zaman batu berkisar antara 4 juta tahun sampai 20.000 tahun
sebelum masehi. Sisa peradaban manusia yang ditemukan pada masa ini antara
lain: alat-alat dari batu, tulang belulang dari hewan, sisa beberapa tanaman,
gambar-gambar digua-gua, tempat-tempat penguburan, tulang belulang manusia
purba. Evolusi ilmu pengetahuan dapat diruntut melalui sejarah perkembangan
pemikiran yang terjadi di Yunani, Babilonia, Mesir, China, Timur Tengah dan
Eropa.[3]
Zaman Yunani kuno
dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki
kebebasan untuk mengeluarkan ide-ide atau pendapatnya, Yunani pada masa itu
dianggap sebagai gudangnya ilmu dan filsafat. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman-pengalaman yang
didasarkan pada sikap menerima saja (receptive attitude) tetapi menumbuhkan
anquiring attitude (senang menyelidiki secara kritis).
Sikap inilah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli-ahli
pikir yang terkenal sepanjang masa.slaha satu tokoh Yunani yang terkenal pada
waktu itu PARMENIDES dengan pendapatnya ”hanya yang ada itu ada” menides tidak mendefinisikan apa itu "yang ada", tetapi
dia menyebutkan beberapa sifatnya yang meliputi segala sesuatu. Menurutnya,
"yang ada" itu tidak bergerak, tidak berubah, dan tidak terhancurkan.
"Yang ada" itu juga tidak tergoyahkan dan tidak dapat disangkal.
Kalau orang menyangkal bahwa "yang ada" itu tidak ada, dengan pernyataannya
sendiri orang itu mengakui bahwa "yang ada" itu ada. Sebab, kalau
benar "yang ada" itu tidak ada, orang itu tidak dapat menyangkal
adanya "yang ada". Jadi, kenyataan bahwa "yang ada" itu
dapat ditolak keberadaannya menunjukkan "yang ada" itu memang ada,
sedangkan "yang tidak ada" itu tidak ada! Sesuatu "yang tidak
ada" sama sekali tidak dapat dikatakan atau dipikirkan, apalagi didiskusikan
(disanggah atau diiyakan).
Sebaliknya, "yang ada" itu selalu
dapat dikatakan, dipikirkan, dan didiskusikan. Oleh sebab itu, pernyataan
Parmenides ini menjadi terkenal, "Ada dan pemikiran itu satu dan
sama." Maksudnya, "yang ada" itu selalu bisa dipikirkan, dan
"yang dapat dipikirkan" selalu ada. Parmenides membuat suatu
pemisahan tajam antara apa yang kelak disebut "pengetahuan empiris",
yakni pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman atau pencerapan indrawi
(empeiria, Yunani), dengan "pengetahuan akal budi" yang murni dan
sejati. Jenis pengetahuan yang terakhir ini hanya diperoleh berkat akal budi
yang mampu menangkap "ada" yang bersifat satu dan tidak berubah, di
balik segala sesuatu yang bersifat indrawi melulu dan tidak mantap.
Dengan gaya seorang penyair, Parmenides menantang siapa pun untuk
berani memakai daya akal budinya melawan arus pendapat umum, "Jangan
biarkan dirimu didesak ke jalan yang salah oleh kuatnya kebiasaan dan pandangan
umum. Jangan percaya pada penglihatan yang menyesatkan dan telinga yang hanya
mengumpulkan bunyi-bunyi. Juga jangan percaya pada lidah: hanya akal budi
semata-mata hendaklah menjadi penguji dan hakim segala sesuatu."[4]
Zaman pertengahan (middle
age) ditandai dengan para tampilnya theolog di lapangan ilmu pengetahuan.
Ilmuwan pada masa ini adalah hampir semuanya para theolog, sehingga aktivitas
ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Atau dengan kata lain kegiatan ilmiah
diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan pada masa ini adalah
Anchila Theologia (abdi agama). Peradaban dunia Islam terutama abad 7 yaitu
Zaman bani Umayah telah menemukan suatu cara pengamatan stronomi, 8 abad
sebelum Galileo Galilie dan Copernicus. Sedangkan peradaban Islam yang
menaklukan Persia pada abad 8 Masehi, telah mendirikan Sekolah kedokteran dan
Astronomi di Jundishapur.[5]
Zaman Renaissance
ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma
agama, Renaissanse adalah zaman peralihan ketika kebudayaan abad pertengahan
mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Tokoh-tokohnya adalah : Roger
Bacon, Copernicus, Tycho Brahe, yohanes Keppler, Galilio Galilei. Yang menarik disini
adalah pendapat Roger Bacon, ia berpendapat bahwa pengalaman empirik menjadi
landasan utama bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan. Matematik
merupakan syarat mutlak untuk mengolah semua pengetahuan. Menurut Bacon,
filsafat harus dipisahkan dari theologi. Agama yang lama masih juga
diterimanya. Ia berpendapat bahwa akal dapat membuktikan adanya Allah. Akan
tetapi mengenai hal-hal yang lain didalam theology hanya dikenal melalui wahyu.
Menurut dia kemenangan iman adalah besar, jika dogma-dogma tampak sebagai
hal-hal yang tidak masuk akal sama sekali.
Sedangkan Copernicus
adalah tokoh gereja ortodok, yang menerangkan bahwa matahari berada di pusat
jagat raya, dan bumi memiliki dua macam gerak, yaitu perputaran sehari-hari
pada porosnya dan gerakan tahunan mengelilingi matahari. Teori ini disebut
Heliosentrisme. Namun teorinya ditentang kalangan gereja yang mempertahankan
prinsip Geosentrisme yang dianggap lebih benar dari pada prinsip
Heliosentrisme. Setiap siang kita melihat semua mengelilingi bumi. Hal ini
ditetapkan Tuhan, oleh agama, karena manusia menjadi pusat perhatian Tuhan,
untuk manusialah semuanya, paham demikian disebut Homosentrisme. dengan kata
lain prinsip Geosentrisme tidak dapat dipisahkan dari prinsip Homosentrisme.
Zaman ini ditandai dengan
berbagai dalam bidang ilmiah, serta filsafat dari berbagai aliran muncul. Pada
dasarnya corak secara keseluruhan bercorak sufisme Yunani. Paham–paham yang
muncul dalam garis besarnya adalah Rasionalisme, Idialisme, dengan Empirisme.
Paham Rasionalisme mengajarkan bahwa akal itulah alat terpenting dalam
memperoleh dan menguji pengetahuan. Ada tiga tokoh penting pendukung
rasionalisme, yaitu Descartes, Spinoza, dan Leibniz.[6]
Sedangkan aliran Idialisme
mengajarkan hakekat fisik adalah jiwa., spirit, Para pengikut aliran/paham ini
pada umumnya, sumber filsafatnya mengikuti filsafat kritisisismenya Immanuel
Kant. Fitche (1762-1814) yang dijuluki sebagai penganut Idealisme subyektif
merupakan murid Kant. Sedangkan Scelling, filsafatnya dikenal dengan filsafat
Idealisme Objektif .Kedua Idealisme ini kemudian disintesakan dalam Filsafat
Idealisme Mutlak Hegel.
Pada Paham Empirisme
mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu dalam pikiran kita selain didahului oleh
pengalaman. ini bertolak belakang dengan paham rasionalisme. Mereka menentang
para penganut rasionalisme yang berdasarkan atas kepastian-kepastian yang
bersifat apriori. Pelopor aliran ini adalah Thomas Hobes Jonh locke,dan David
Hume.
Merupakan era tahun-tahun
terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang. Hal yang membedakan pengamatan
tentang ilmu pada zaman sekarang adalah bahwa zaman modern adalah era
perkembangan ilmu yang berawal sejak sekitar abad ke-15, sedangkan kontemporer
memfokuskan sorotannya pada berbagai perkembangan terakhir yang terjadi hingga
saat sekarang. Yakni dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dalam berbagai
bidang. Yang disebabkan oleh semakin kritisnya umat manusia era sekarang yang
di bantu oleh adanya alat-alat yang canggih. Pada periode ini berbagai kejadian
dan peristiwa yang sebelumnya mungkin dianggap sesuatu yang mustahil, namun
berkat kemajuan ilmu dan teknologi dapat berubah menjadi suatu kenyataan.
Bagaimana pada waktu itu orang dibuat tercengang dan terkagum-kagum, ketika
Neil Amstrong benar-benar menjadi manusia pertama yang berhasil menginjakkan
kaki di Bulan. Begitu juga ketika manusia berhasil mengembangkan teori rekayasa
genetika dengan melakukan percobaan cloning pada kambing, atau mengembangkan
cyber technology, yang memungkinkan manusia untuk menjelajah dunia melalui
internet. Belum lagi keberhasilan manusia dalam mencetak berbagai produk nano
technology, dalam bentuk mesin-mesin micro-chip yang serba mini namun memiliki
daya guna sangat luar biasa.[7]
Semua keberhasilan ini
kiranya semakin memperkokoh keyakinan manusia terhadap kebesaran ilmu dan
teknologi. Memang, tidak dipungkiri lagi bahwa positivisme-empirik yang serba
matematik, fisikal, reduktif dan free of value telah membuktikan kehebatan dan
memperoleh kejayaannya, serta memberikan kontribusi yang besar dalam membangun
peradaban manusia seperti sekarang ini.
Namun, dibalik
keberhasilan itu, ternyata telah memunculkan persoalan-persoalan baru yang
tidak sederhana, dalam bentuk kekacauan, krisis yang hampir terjadi di setiap
belahan dunia ini. Alam menjadi marah dan tidak ramah lagi terhadap manusia,
karena manusia telah memperlakukan dan mengexploitasinya tanpa memperhatikan
keseimbangan dan kelestariannya. Berbagai gejolak sosial hampir terjadi di
mana-mana sebagai akibat dari benturan budaya yang tak terkendali.
Kesuksesan manusia dalam
menciptakan teknologi-teknologi raksasa ternyata telah menjadi bumerang bagi
kehidupan manusia itu sendiri. Raksasa-raksasa teknologi yang diciptakan
manusia itu seakan-akan berbalik untuk menghantam dan menerkam si penciptanya
sendiri, yaitu manusia.
Berbagai persoalan baru
sebagai dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi yang dikembangkan oleh kaum
positivisme-empirik, telah memunculkan berbagai kritik di kalangan ilmuwan
tertentu. Kritik yang sangat tajam muncul dari kalangan penganut “Teori Kritik Masyarakat”,
sebagaimana diungkap oleh Ridwan Al Makasary. Kritik terhadap positivisme,
kurang lebih bertali temali dengan kritik terhadap determinisme ekonomi, karena
sebagian atau keseluruhan bangunan determinisme ekonomi dipancangkan dari teori
pengetahuan positivistik. Positivisme juga diserang oleh aliran kritik dari
berbagai latar belakang dan didakwa berkecenderungan meretifikasi dunia sosial.
Pandangan teoritikus kritik dengan kekhususan aktor, di mana mereka menolak ide
bahwa aturan aturan umum ilmu dapat diterapkan tanpa mempertanyakan tindakan
manusia. Akhirnya “Teori Kritik Masyarakat” menganggap bahwa positivisme dengan
sendirinya konservatif, yang tidak kuasa menantang sistem yang eksis.[8]
8. pada Masa Islam
Islam
tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual, tetapi juga membuktikan
kecintaan umat Islam terhadap ilmu pengetahuan dan sikap hormat mereka kepada
ilmuwan, tanpa memandang agama mereka. Periode antara 750 M dan 1100 M adalah
abad masa keemasan dunia Islam. Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh
yang besar pada mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab Peripatetik.
Al
Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis
(logika) kepada dunia Islam. Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First, dan Second Analysis telah diterjemahkan Al Farabi ke dalam bahasa Arab. Al Farabi
telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun
induktif. Di samping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu
musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh
Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al Farabi diberi gelar Guru Kedua,
sedang gelar Guru Pertama diberikan kepada Aristoteles.
Kontribusi
lain dari Al Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya
mengklasifikasi ilmu pengetahuan. Al Farabi telah memberikan defenisi dan
batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Al Farabi
mengklasifikasi ilmu ke dalam tujuh cabang yaitu: logika, percakapan,
matematika, fisika, metafisika, politik, dan ilmu fiqih (hukum). Ilmu
percakapan dibagi lagi ke dalam tujuh bagian yaitu: bahasa, gramatika,
sintaksis, syair, menulis, dan membaca. Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi
dalam: ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan
membaca dengan benar, dan aturan mengenai syair yang baik. Ilmu logika dibagi
dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi).
Matematika dibagi dalam tujuh bagian.
Metafisika dibagi dalam dua
bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua
mengenai filsafat ilmu. Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan
menjurus pada etika dan politika. Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan
berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat
populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi
masyarakat madani. Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqih dan imu ketuhanan/kalam
(teologi).[9]
Buku
Al Farabi mengenai pembagian ilmu ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
untuk konsumsi bangsa Eropa dengan judul De Divisione Philosophae. Karya lainnya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik,
dan geologi. Al Farabi (w.950) terkenal dengan doktrin wahda al wujud membagi hierarki wujud yaitu
(1) dipuncak hierarki wujud adalah Tuhan yang merupakan sebab bagi keberadaan
yang lain, (2) para malaikat di bawahnya yang merupakan sebab bagi keberadaan
yang lain, (3) benda21 benda langit (angkasa), (4) benda-benda bumi. Al Farabi
memiliki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa
tokohtokoh filsafat harus bersepakat di antara mereka sepanjang yang menjadi
tujuan mereka adalah kebenaran.
Filosof
lain yang terkenal adalah Ibnu Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna. Selain sebagai seorang
filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair. Ilmu pengetahuan yang
ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair. Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ininkemudian menjadi buku teks
(text book) dalam ilmu kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan
tinggi di Eropa, seperti Universitas Louvain dan Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah menekankan
betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat suatu obat.
Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada
ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian. Pemberian obat hendaknya
disesuaikan dengan kekuatan penyakit. Kitab lainnya berjudul Al Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud
(di Barat dikenal dengan nama Avendauth Ben Daud) di Toledo. Oleh karena Al Shifa sangat tebal, maka bagian yang
diterjemahkan oleh Ibnu Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika, dan De Anima.[10]
Ibnu
Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoretis dan bagian yang
bersifat praktis. Bagian yang bersifat teoretis meliputi: matematika, fisika,
dan metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi: politik dan
etika. Ibnu Sina, mengatakan alam pada dasarnya adalah potensi (mumkin al
wujud) dan tidak mungkin bisa mengadakan dirinya sendiri tanpa adanya
Tuhan. Ibnu Sina mengelompokkan ilmu dalam tiga macam yakni (1) obyek-obyek
yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak (metafisik), (2)
obyek-obyek yang senantiasa berkaitan dengan materi dan gerak (fisika), (3)
obyek-obyek yang pada dirinya immaterial tetapi kadang melakukan kontak dengan
materi dan gerak (matematika). Ibn Khaldun dalam kitabnya Al Muqaddimah membagi metafisika dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara
tentang hakikat wujud (ontologi). Dari sini muncul dua aliran besar yakni eksistensialis (tokoh yang terkemuka adalah
Ibnu Sina dan Mhulla Shadra) dan esensialis (tokoh yang terkemuka adalah Syaikh Al Israq, Suhrawardi).
Berikutnya Ibn Khaldun membagi
ilmu matematika ke dalam empat subdivisi yakni (1) geometri; trigonometrik dan
kerucut, surveying tanah, dan optik. Sarjana muslim terutama Ibn Haitsam telah banyak
mempengaruhi sarjana barat termasuk Roger Bacon, Vitello dan Kepler
(2)Aritmetika; seni berhitung/hisab, aljabar, aritmatika bisnis dan faraid (hukum waris), (3) musik, (4)
astronomi.[11]
Dalam
bidang ilmu mineral, dikenal karya Al Biruni yang berjudul Al Jawahir (batu-batu permata), selain itu pada abad ke-11 Al Biruni dikenal
sebagai The master of observation di bidang geologi dan geografi karena Al Biruni berusaha mengukur
keliling bumi melalui metode eksperimen dengan menggabungkan metode observasi
dan teori trigonometri. Akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa keliling bumi
adalah 24.778,5 mil dengan diameter 7.878 mil. Tentu saja ini merupakan
penemuan luar biasa untuk masa itu, dengan ukuran modern saja yaitu 24.585 mil
(selisih ± 139 mil) dengan diameter 7.902 mil. Dalam bidang ilmu farmakologi
dan medis dikenal karya Ibnu Sina yakni Al Qanun
fi al Thibb dan Al Hawi oleh Abu Bakr Al Razi, bidang
nutrisi dikenal karya Ibn Bathar yakni Al Jami Li Mufradat Al Adawiyyah wa Al Aghdziyah, di bidang zoologi dikenal
karya Al Jahizh yang berjudul Al Hayawan dan Hayat Al Hayawan oleh Al Damiri. Di Andalusia terkenal seorang ahli bedah muslim, Ibn
Zahrawi yang telah mencitakan ratusan alat bedah yang sudah sangat maju untuk
ukuran zamannya.
Filosof
lainnya adalah Al Kindi, yang dianggap sebagai filosof Arab pertama yang
mempelajari filsafat. Ibnu Al Nadhim mendudukkan Al Kindi sebagai salah satu
orang termasyhur dalam filsafat alam (natural philosophy). Buku-buku
Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri,
aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap
Al-Kindi sebagai penerjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari bahasa
Yunani ke dalam bahasa Arab.
C.
Aliran-aliran Dalam Filsafat
Ilmu
Menurut
Salding Hausilmu dalam kutipanya, aliran-aliran dalam filsafat ilmu terbagi
menjadi 6 aliran, antara lain :[12]
a. Idealisme
Adalah doktrin yang
mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam
kebergantungannya pada jiwa (mind) dan roh (spirit). Istilah ini
diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.Kata idealisme
dalam filsafat mempunyai arti yang sangat berbeda dari arti yang biasa dipakai
dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu dapat mengandung
beberapa pengertian, antara lain:Seorang yang menerima ukuran moral yang
tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya;Orang yang dapat melukiskan dan
menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Arti falsafi
dari kata idealisme ditentukan lebih banyak oleh arti dari
kata ide daripada kata ideal. W.E. Hocking,
seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat
digunakan daripada idealism. Secara ringkas idealisme
mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind)
atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme
menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer)
daripada materi.
Alam, bagi
orang idealis, mempunyai arti dan maksud, yang diantara aspek-aspeknya adalah
perkembangan manusia. Oleh karena itulah seorang idealis akan berpendapat
bahwa, terdapat suatu harmoni yang dalam arti manusia dengan alam. Apa yang
“tertinggi dalam jiwa” juga merupakan “yang terdalam dalam alam”. Manusia
merasa ada rumahnya dengan alam; ia bukanlah orang atau makhluk ciptaan nasib,
oleh karena alam ini suatu sistem yang logis dan spiritual; dan hal ini
tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jiwa (self)
bukannya satuan yang terasing atau tidak rill, jiwa adalah bagian yang
sebenarnya dari proses alam. Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan
dirinya sebagai aktivis, akal, jiwa, atau perorangan. Manusia sebagai satuan
bagian dari alam menunjukkan struktur alam dalam kehidupan sendiri.
Pokok utama
yang diajukan oleh idealisme adalah jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam
alam semesta. Sebenarnya, idealisme tidak mengingkari materi. Namun, materi
adalah suatu gagasan yang tidak jelas dan bukan hakikat. Sebab,
seseorangakanmemikirkan materi dalam hakikatnya yang terdalam, dia harus
memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui apakah sesungguhnya
materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah nilai itu, dan apakah
akal budi itu, bukannya apakah materi itu.
Paham ini
beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia ada karena ada
unsur yang tidak terlihat yang mengandung sikap dan tindakan manusia. Manusia
lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi manusia maka
peralatan yang digunakannya bukan semata-mata peralatan jasmaniah yang mencakup
hanya peralatan panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang mencakup akal
dan budi. Justru akal dan budilah yang menentukan kualitas manusia.[13]
b. Materialisme
Merupakan
istilah dalam filsafat ontology yang menekankan keunggulan faktor-faktor
material atas spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi, efistemologi,
atau penjelasan historis. Maksudnya, suatu keyakinan bahwa di dunia ini tidak
ada sesuatu selain materi yang sedang bergerak. Pada sisi ekstrem yang lain,
materialisme adalah sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa pikiran (roh,
kesadaran, dan jiwa ) hanyalah materi yang sedang bergerak. Materi dan alam
semesta sama sekali tidak memiliki karakteristik-karakteristik pikiran dan
tidak ada entitas-entitas nonmaterial. Realitas satu-satunya adalah materi.
Setiap perubahan bersebab materi atau natura dan dunia fisik.
c. Eksistensialisme
Definisi
eksistensialisme tidak mudah dirumuskan, bahkan kaum eksistensialis sendiri
tidak sepakat mengenai rumusan apa sebenarnya eksistensialisme itu. Sekalipun
demikian, ada sesuatu yang disepakati, baik filsafat eksistensi maupun filsafat
eksistensialisme sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral.
[14]
Kata dasar
eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex yang
berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah
berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya
sendiri, manusia sadar tentang dirinya sendiri; ia berdiri sebagai aku atau
pribadi. Pikiran semacam ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di
sana, sein artinya berada).
Dari uraian di
atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia itu menunjukkan bahwa ia
merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan dengan alam jasmani,
manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah selesai. Dengan
demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum; ia selalu sedang ini atau
sedang itu. Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme
ini, perlu kiranya dibedakan dengan filsafat eksistensi. Yang dimaksud dengan
filsafat eksistensi adalah benar-benar seperti arti katanya, yaitu filsafat
yang menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat
eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada
manusia dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia; sapi dan pohon
juga. Akan tetapi cara beradanya tidak sama. Manusia berada di dalam dunia; ia
mengalami beradanya di dunia itu; manusia menyadari dirinya berada di dunia.
Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.
Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti
bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek
artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya disebut
obyek.
d. Monisme
Monisme (monism) berasal
dari kata Yunani yaitu monos (sendiri, tunggal) secara istilah
monisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa unsur pokok dari segala
sesuatu adalah unsur yang bersifat tunggal/ Esa. Unsur dasariah ini bisa berupa
materi, pikiran, Allah, energi dll. Bagi kaum materialis unsur itu adalah
materi, sedang bagi kaum idealis unsur itu roh atau ide. Orang yang mula-mula
menggunakan terminologi monisme adalahChristian Wolff (1679-1754).
Dalam aliran ini tidak dibedakan antara pikiran dan zat. Mereka hanya berbeda
dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang
sama. Ibarat zat dan energi dalam teori relativitas Enstein, energi hanya
merupakan bentuk lain dari zat.Atau dengan kata lain bahwa aliran monisme
menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan yang fundamental.[15]
e. Dualisme
Dualisme (dualism) berasal
dari kata Latin yaitu duo (dua). Dualisme adalah ajaran yang
menyatakan realitas itu terdiri dari dua substansi yang berlainan dan bertolak
belakang. Masing-masing substansi bersifat unik dan tidak dapat direduksi,
misalnya substansi adi kodrati dengan kodrati, Tuhan dengan alam semesta, roh
dengan materi, jiwa dengan badan dll. Ada pula yang mengatakan bahwa dualisme
adalah ajaran yang menggabungkan antara idealisme dan materialisme, dengan
mengatakan bahwa alam wujud ini terdiri dari dua hakikat sebagai sumber yaitu
hakikat materi dan ruhani. Dapat dikatakan pula bahwa dualisme adalah paham
yang memiliki ajaran bahwa segala sesuatu yang ada, bersumber dari dua hakikat
atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri.
f. Pluralisme
Pluralisme (Pluralism)
berasal dari kata Pluralis (jamak). Aliran ini menyatakan
bahwa realitas tidak terdiri dari satu substansi atau dua substansi tetapi
banyak substansi yang bersifat independen satu sama lain. Sebagai
konsekuensinya alam semesta pada dasarnya tidak memiliki kesatuan, kontinuitas,
harmonis dan tatanan yang koheren, rasional, fundamental. Didalamnya hanya
terdapat pelbagi jenis tingkatan dan dimensi yang tidak dapat diredusir.
Pandangan demikian mencangkup puluhan teori, beberapa diantaranya teori para
filosof yunani kuno yang menganggap kenyataan terdiri dari udara, tanah, api
dan air. Dari pemahaman di atas dapat dikemukakan bahwa aliran ini tidak
mengakui adanya satu substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi,
karena menurutnya manusia tidak hanya terdiri dari jasmani dan rohani tetapi
juga tersusun dari api, tanah dan udara yang merupakan unsur substansial dari
segala wujud.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan Diatas maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan :
1. Bahwa filsafat ilmu mengalami
sejarah yang panjang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
2. Bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan tidak bisa lepas dari perkembanganpemikiran secara teoritis yaitu
senantiasa mengacu kepada peradabanYunani .Oleh karena itu periodesasi
perkembangan ilmu disusun mulai dariperadaban Yunani kemudian diakhiri pada
penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. Penemuan-penemuan yang spektakuler
terjadi sepanjang zaman dari masaPra Yunani kuno sampai pada masa kontemporer
tentu saja sangatdipengaruhi oleh tokoh pemikir (filosof) yang hidup pada zaman
masing-masing dan menambah kekayaan khasanah ilmu pengetahuan khususnyacabang
filsafat yaitu filsafat ilmu.
B. Saran
Saran yang dapat kami sampaikan
adalah:
Ø Seharusnya kita sebagai calon
generasi penerus bangsa haruslah banyak mengetahui tentang sejarah perkembangan
ilmu pengetahuan, dan siapa saja penemu yang berperan penting dalam kehidupan
ini.
Ø Sebagai umat yang beriman, kita
seharusnya mengetahui batasan-bataan dalam pengembangan ilmu itu sendiri.
Ø Sebagai penyusun, kami
menyadari banyak hal yang masih kurang. Dan jika dalam penulisan makalah ini
terdapat banyak kesalahan atau kekeliruan, mohon kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan.
-
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu,
Jakarta, PT. Grafindo Persada, 2004
Prof.Dr.Amsal
Bakhtiar,M.A, Filsafat Ilmu, Rajawali Press, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-11, Januari 2012.
Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu ( Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,Yogyakarta, Belukar, Cetakan ke 5, Agustus
2008.
Anshari, Endang S. Ilmu, filsafat, dan Agama. Bina
Ilmu: Surabaya, 1985
[1] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta, PT.
Grafindo Persada, hal, 15
[2]
Ibid, hal : 16
[3] Ibid, hal : 18
[4] Prof.Dr.Amsal Bakhtiar,M.A, Filsafat
Ilmu, Rajawali Press, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal
:47
[5] Ibid,
hal : 48
[6] Ibd,
hal : 49
[7] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu (
Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,Yogyakarta,
Belukar, Cetakan ke 5 , hal : 78
[8] Ibid,
hal : 79
[9] Ibid,
hal : 81
[11] Ibid,
hal : 64
[13]
Ibid,
[15]
Ibid,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar